Sebagian hati punya cara sendiri untuk mengobati dirinya sendiri. Saya pikir caranya akan sama, rupanya jauh berbeda. Saya pikir dengan tindakan saja sudah cukup, rupanya saya harus belajar menyampaikan maksud. Saya pikir, hidupnya akan baik-baik saja seperti saya yang terus berupaya. Rupanya beda, dia lebih membutuhkan seseorang sebagai kekuatan. Maka saya memilih untuk bergantung ketika bersamanya, agar dia terus memiliki perasaan bahagia. Surat ini saya tuliskan untuk ibu. Sebuah surat cinta untuk ibu yang tak bisa lagi memeluk diriku.
Ingatan perihal setahun lalu, kau pernah menyuruhku untuk selamanya berada di rumah. Mungkin kau telah melihat wajah kematian itu. Sehingga menjadi cemas meninggalkan ibu. Ibuku, seorang perempuan yang tidak terlalu suka dunia luar. Rumah adalah satu-satunya pelindung bagi hatinya yang lemah. Rumah adalah taman bermain paling nyaman baginya. Maka aku cukup mengenal ibuku jauh melebihi mereka yang hanya menilai semua orang dari kulit luar tanpa mengenal dirinya sendiri.
Tahukah engkau, Pa. Beberapa hari hingga bulan kepergiaanmu, ibu diselubungi prasangka-prasangka yang menempatkannya dalam posisi paling buruk. Aku teramat marah pada mereka yang hanya menilai luarnya saja. Mengapa manusia seperti itu, Pa? Memperlakukan manusia lain dengan cara yang menyakitinya? Bukankah kau sering berkata padaku, bahwa manusia itu semuanya baik dan melarangku untuk tidak menyimpan prasangka buruk apapun?
Rasanya anakmu ingin membuat mereka merasakan kesakitan yang sama, Pa. Namun disetiap amarah yang tak mampuku kendalikan, pesan terakhirmu selalu membuatku kembali penuh dalam kesadaran.
“Jangan pernah membalas orang-orang dengan kata-kata yang sama, nak. Meski kata-kata itu memberimu luka,”
Hari ini tepat setahun kepergiaanmu. Ibu, masih saja melamunkan mimpi-mimpi yang pernah kalian ramu. Bahkan anakmu terus berupaya mewujudkan satu persatu semua mimpi-mimpi itu. Tidak mengapa bagiku, jika orang-orang terus mempermasalahkan usiaku yang tak lagi angka satu. Usia yang menurut mereka sudah selayaknya mempunyai anak satu. Bukankah Allah itu teramat baik? Aku tidak pernah cemas perihal jodohku. Sebab, Allah tidak akan pernah mengijinkanku hidup sendirian.
Kehilangan memang memberi jeda begitu lama bagi perasaan. Apalagi perasaan kehilangan belahan jiwa. Aku tidak pernah menyangka bahwa kehilangan sosok ayah bagi ibu cukup membuatnya kehilangan seluruh bahagianya. Aku pikir, kehilangan yang kami rasakan akan memiliki kesembuhan yang sama. Rupanya, cukup jauh berbeda cara penyembuhannya. Ibuku perlu waktu lama untuk lupa, terkadang sedihnya tergurat dalam keriput yang mulai tampak di muka.
Mungkin anak perempuanmu tidak pandai menyampaikan maksud, makanya terkadang kesedihan yang aku pikir telah mampu diredam akan membuatnya lupa. Rupanya aku hanya menerka saja. Anakmu masih harus belajar menyampaikan secara langsung perihal yang ingin di utarakan. Mengatakan padanya bahwa hidup bukan hanya perihal kesedihan saja namun ada kebahagiaan setelah kita mampu bersyukur dan memetik hikmah setelahnya.
Ya, tidak mudah memang. Mengobati hati yang hancur berantakan. Kala itu, ketika tanahmu masih basah, Pa. Kepergiaanmu yang masih singgah. Aku mendapati ibu yang masih penuh dengan tangis yang membuncah. Aku tidak pandai menghiburnya, bukan karena aku tak mampu. Aku merasa lukaku juga menginginkan penghiburan. Perasaan kehilangan yang menciptakan ego bagi kami berdua. Aku membuang semua bentuk dari perasaan. Hanya fokus pada tujuan dan kewajiban yang harus kutunaikan. Merayakan semua luka yang masih bersarang di dada dengan memenuhi semua hari dengan kesibukan. Sibuk yang membuatku lupa. Sibuk yang membuatku mampu memejamkan mata.
Setelah beberapa hari maupun bulan, aku terus berupaya menemukan obat bagi kesembuhan perihal kehilangan. Namun satu-satunya jalan yang kutemukan atau lebih tepatnya menemukanku yang berantakan, yaitu mendekatkan diri pada Pencipta. Dekat denganNya memberiku ketenangan. Perlahan-lahan mencoba kembali lahir dalam sosok yang baru. Meski belum sepenuhnya, namun kuupayakan seutuhnya. Doakan semoga lekas lega.
Beberapa buku yang ku baca pernah menuliskan perihal ini, “untuk menyembuhkan luka orang lain, kau perlu menyembuhkan lukamu sendiri terlebih dahulu.” Maka, aku berupaya untuk sembuh dari luka kehilangan yang masih berbentuk. Agar mampu memberi kesembuhan yang sama bagi luka ibu yang masih saja berbentuk. Setelahnya, ketika menemukan ibu dalam kesedihan yang sama. Aku telah mampu memberinya penghiburan. Meski tidak sepenuhnya mampu meredamkan kesedihan, setidaknya memberinya kepercayaan. Bahwa anaknya selalu ada untuknya.
Ya. Anak perempuanmu ini, Bu, memang akan terlihat teramat acuh bagi mereka yang tidak kuijinkan mengetahui hatiku. Luka kehilangan ayah masih besar dan meninggalkan ruang yang lebar. Sangat sulit mengatakan baik-baik saja jika sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Namun dari hal ini, anakmu belajar bahwa kau harus mampu sembuh demi ibumu yang masih rapuh.
Anak perempuanmu terus berupaya sembuh. Agar kekuatan yang kumiliki dapat menjadi kekuatan baru untukmu. Kesedihan memang akan selalu menjadi teman bagi kehilangan. Namun, aku percaya akan ada kebahagiaan setelah kita kepayahan. Bukankah kau sering berkata padaku, Allah tidak pernah menyia-nyiakan hambanya. Dia akan memberi hal-hal baik yang sesuai dengan prasangka hambanya. Kesehatanku, kebahagiaanku dan surgaku ada padamu. Percayalah pada anak perempuanmu ini, bahwa aku mampu memberi bahagia meski tidak sama dengan bahagia yang pernah ayah berikan.
Dear papa, kali ini anakmu memang sengaja menuliskan sebuah surat untuk ibu. Agar mampu kau baca di sana melalui doa-doa yang tidak pernah jeda. Pa, kau harus berbangga memiliki ibu. Cintanya teramat setia. Aku ingin memiliki cinta yang sama juga. Setia pada yang satu saja. Pa, doakan anak perempuanmu ini dan ibu. Memiliki cinta yang sebaik-baiknya dimata Allah.
Salam rindu dari kami yang selalu merindukanmu~